Dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang telah disahkan oleh pemerintah pada tanggal 29 Oktober 2021 menyebutkan ketentuan baru yang dituangkan dalam perubahan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN) pasal 9A ayat (1) mengenai besaran PPN yang dapat ditentukan oleh Menteri Keuangan terhadap Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang mempunyai peredaran usaha dalam 1 tahun buku tidak melebihi jumlah tertentu, melakukan kegiatan usaha tertentu, dan melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak tertentu (JKP).

Dalam penjelasan pasal 9A ayat (1), melakukan kegiatan usaha tertentu artinya adalah PKP yang mengalami kesulitan dalam mengadministrasikan pajak masukan, melakukan transaksi melalui pihak ketiga, baik penyerahan BKP dan/atau JKP, maupun pembayarannya, atau memiliki kompleksitas proses bisnis sehingga pengenaan Pajak Pertambahan Nilai tidak memungkinkan dilakukan dengan mekanisme normal. Kemudian yang dimaksud dengan penyerahan BKP atau JKP tertentu adalah BKP atau JKP yang dikenai PPN dalam rangka perluasan basis pajak, dan BKP yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak.

Dengan munculnya aturan baru ini, artinya kedepannya akan muncul skema PPN Final untuk mengakomodir sistem pemungutan BKP atau JKP tertentu tersebut. Kemudian dilanjutkan dalam pasal 9A ayat (2) pajak masukan atas perolehan BKP atau JKP, impor BKP, serta pemanfaat BKP tidak berwujud, dan/atau pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean yang berhubungan dengan penyerahan oleh PKP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dikreditkan.

Menteri Keuangan Republik Indonesia, Ibu Sri Mulyani, mengatakan dalam konferensi video pada 7 September 2021 bahwa nantinya besaran tarif PPN Final adalah 1% - 3% dari peredaran usaha. Namun sampai dengan tulisan ini dibuat, belum dikeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang mengatur tentang kriteria maupun sektor mana saja yang dikenakan PPN Final ini.

Rekomendasi Artikel.