Metode Harga Penjualan Kembali menggunakan perbandingan marjin laba kotor (gross profit margin) antara perusahaan yang bertransksi transfer pricing dengan marjin laba kotor pihak pembanding (perusahaan lain yang merupakan pihak independen). Jenis perusahaan yang menjadi subjek dalam perbandingan dalam metode harga penjualan kembali adalah perusahaan yang berfungsi sebagai agen penjualan dan pemasaran. Metode Harga Penjualan Kembali memfokuskan pada kesebandingan fungsi sedangkan metode CUP berfokus pada kesebandingan produk.

 

Metode Harga Penjualan Kembali (“Resale Price Method” atau “RPM”) untuk penentuan Transfer Pricing

Sebagai contoh dalam metode Harga Penjualan Kembali, perusahaan MJ Co menjual produk kamera merek MJCam kepada TGS Co. TGS Co berperan sebagai agen penjual MJCam. TGS Co mempunyai marjin laba kotor sebesar 20%. Pembandingnya yang digunakan adalah rata-rata komisi yang diambil oleh perusahaan agen penjualan barang elektronik (dengan fungsi yang sama degan TGS Co) adalah 25%. Misalkan harga produk MJCam yang dijual kepada pelanggan TGS Co adalah USD 100, maka marjin laba kotor TGS Co adalah USD 20. 

 

Dengan perbandingan tersebut, TGS Co memiliki margin laba kotor yang lebih kecil, sehingga harga transfernya dapat dibilang lebih tinggi dibandingkan pembandingnya. Penyesuaian harga transfer perlu dilakukan dalam kondisi tersebut. Pada contoh kasus tersebut marjin laba kotor TGS co yang wajar adalah sebesar USD 25 bukan USD 20.

 

Perlu diketahui bahwa ini adalah contoh yang sederhana, dalam praktiknya mungkin akan sulit untuk mendapatkan pembanding yang sama-sama mempunyai fungsi sebatas agen penjualan. Ditambah lagi, terdapat perbedaan praktik akuntansi antara TGS Co dengan perusahaan sejenisnya, yang menyebabkan jumlah Harga Pokok Penjualannya dapat berbeda antara satu sama lainnya.

 

Metode harga penjualan kembali paling cocok digunakan untuk perusahaan yang berfungsi sebagai agen penjualan dari suatu produk, yang tidak memberikan nilai tambah kepada produk. Metode harga penjualan kembali diterapkan sebagai alternatif dari metode CUP jka metode CUP tidak dapat digunakan, atau metode Biaya-Plus (dijelaskan dibawah) tidak dapat digunakan.

 

Untuk mempermudah pembahasan metode RPM berikut adalah ilustrasi untuk penjelasan Metode Harga Jual Kembali (Metode RPM):

 

Contoh 2 -  kasus penggunaan metode harga penjualan kembali

 

  1. AUP Global Production Center (anak perusahaan dari grup AUP) adalah perusahaan yang berfungsi menjalankan manufaktur produk sepatu merek Orange

  2. PT AUP Indonesia (anak perusahaan dari grup AUP) adalah perusahaan agen penjualan sepatu merek Orange dan juga menjual aksesoris sepatu merek lain.

  3. Harga 1 unit sepatu Orange adalah $100 dengan marjin reseller yaitu PT AUP Indonesia adalah 20%, dengan demikian harga wajar dari transaksi pembelian sepatu Orange adalah $80 per 1 unit sepatu merek Orange.

  4. Perusahaan sejenis dengan PT AUP Indonesia yaitu PT MJCO adalah perusahaan agen penjual ekslusif untuk sepatu dan aksesorinya (merek lainnya) mempunyai profit margin sebesar 15% dari harga jual kepada pelanggan.

    Rekomendasi Artikel.

  5. Diketahui untuk perusahaan agen penjual untuk produk pakaian mempunyai profit margin sebesar 30% dari harga jual kepada pelanggan.

 

Tingkat keuntungan yang wajar didasari kepada fungsi yang dijalankannya dan risiko yang ada. Sisa dari harga produk dianggap sebagai harga wajar untuk transaksi antar perusahaan antara perusahaan penjualan (yaitu Perusahaan Asosiasi 2) dan perusahaan terkait (yaitu Perusahaan Asosiasi 1). Karena metode ini didasarkan pada laba kotor yang wajar daripada secara langsung menentukan harga wajar (seperti dengan Metode CUP), Metode Harga Jual Kembali memerlukan lebih sedikit perbandingan transaksi (produk) langsung daripada Metode CUP.

 

Metode Harga Jual Kembali menganalisis harga produk yang ditagihkan oleh perusahaan penjualan (Perusahaan PT AUP Indonesia, dalam contoh dibawah) kepada pelanggan yang tidak terkait (yaitu harga jual kembali) untuk menentukan margin kotor yang wajar, yang diperoleh oleh perusahaan penjualan. untuk menanggung biaya penjualan, umum dan administrasi (SG&A), dan masih menghasilkan keuntungan yang sesuai. Dengan metode harga penjualan kembali (RPM) maka harga wajar untuk penjualan produk antara perusahaan penjualan (yaitu PT AUP Indonesia) dan perusahaan terkait (yaitu AUP Global) adalah sebesar 30% gross profit margin.

 

Dalam ilustrasi tersebut, walaupun metode harga penjualan kembali tidak menekankan untuk produk yang sejenis namun karakteristik dari reseller dapat berbeda-beda untuk setiap jenis produk, sehingga jika terdapat pembanding dalam industri yang sama (Contohnya sepatu), sebaiknya gross profit margin dari perusahaan pembanding itu yang digunakan.

 

Metode Harga Penjualan Kembali (RPM) menekankan kepada fungsi dari perusahaan yaitu fungsi penjualan, berbeda dari CUP yang menekankan pada perbandingan produk. Untuk itu, perlu diperhatikan adalah apakah perusahaan penjualan hanya melaksanakan fungsi penjualan atau juga melakukan fungsi lain seperti menambah nilai produk, after-sales service atau pendanaan misalnya. Pengaruh material dari perbedaan antara perusahaan yang melakukan transfer pricing dan pembandingnya harus disesuaikan, sehingga antara perusahaan yang diuji harga transfernya dengan pembanding adalah sebanding satu dengan lainnya.

 

Menurut UN Practice Manual on Transfer Pricing berikut adalah hal yang perlu diperhatikan, khususnya dalam menentukan kesebandingan fungsi antara satu perusahaan dengan pembandingnya, dalam penerapan metode harga penjualan kembali (resale price method “RPM”):

 

  1. Berbeda dengan Metode CUP, keandalan RPM dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang memiliki pengaruh yang lebih kecil terhadap harga produk daripada biaya pelaksanaan fungsi. Perbedaan tersebut dapat memengaruhi margin kotor meskipun tidak memengaruhi harga wajar produk (misalnya, komposisi COGS). Faktor-faktor ini dapat mencakup struktur biaya (misalnya praktik akuntansi), pengalaman bisnis (misalnya fase permulaan atau bisnis yang matang) atau efisiensi manajemen;

  2. Margin harga jual kembali memerlukan perhatian khusus di mana reseller menambah nilai produk secara substansial, misalnya dengan sangat membantu dalam pembuatan atau pemeliharaan properti tak berwujud yang terkait dengan produk (misalnya merek dagang atau nama dagang) atau di mana barang diproses lebih lanjut menjadi produk yang lebih rumit oleh reseller sebelum dijual kembali;

  3. Besarnya margin harga jual kembali akan dipengaruhi oleh tingkat aktivitas yang dilakukan oleh reseller. Misalnya, layanan distribusi yang diberikan oleh reseller yang bertindak sebagai agen penjualan akan kurang luas dibandingkan dengan yang disediakan oleh reseller yang bertindak sebagai distributor jual-beli. Distributor jual-beli jelas akan mendapatkan kompensasi yang lebih tinggi daripada agen penjualan;

  4. Jika pengecer melakukan aktivitas komersial yang signifikan terkait dengan aktivitas penjualan kembali itu sendiri, atau jika ia menggunakan aset berharga dan unik dalam aktivitasnya (misalnya, pemasaran yang tidak berwujud yang berharga dari reseller), ia dapat memperoleh margin laba kotor yang lebih tinggi;

  5. Analisis kesebandingan harus mencoba mempertimbangkan apakah reseller memiliki hak eksklusif untuk menjual kembali barang, karena hak eksklusif dapat memengaruhi margin harga jual kembali;

  6. Analisis harus mempertimbangkan perbedaan dalam praktik akuntansi yang berlaku untuk reseller dan perusahaan pembanding untuk membuat penyesuaian yang tepat untuk meningkatkan daya banding; dan

  7. Keandalan analisis akan dipengaruhi oleh perbedaan nilai produk yang didistribusikan, misalnya, sebagai hasil dari merek dagang yang berharga.

 

Kekuatan dan Kelemahan dari Metode Harga Jual Kembali

 

Menurut UN Manual Practice on TP, Kekuatan Metode Harga Jual Kembali (RPM) diantaranya adalah:

 

  1. Metode ini didasarkan pada harga jual kembali, harga pasar, dan karenanya merupakan metode yang digerakkan oleh permintaan; dalam situasi di mana ada hubungan yang lemah antara biaya yang timbul dan harga jual suatu produk atau jasa (misalnya ketika permintaan tidak elastis, harga jual kembali mungkin lebih dapat diandalkan; dan

  2. Metode ini dapat digunakan tanpa memaksa distributor untuk "menghasilkan keuntungan" secara tidak tepat. Distributor mendapatkan margin laba kotor yang wajar, namun dapat mengalami kerugian operasional karena, misalnya, biaya penjualan yang tinggi yang disebabkan oleh strategi bisnis seperti komisi penjualan yang lebih tinggi untuk meningkatkan pangsa pasar.

 

Kelemahan Metode Harga Jual Kembali antara lain:

  1. Mungkin sulit untuk menemukan data pembanding tentang marjin laba kotor karena praktik akuntansi yang berbeda; dan

  2. Metode ini melibatkan analisis satu sisi, karena fokusnya adalah pada perusahaan penjualan terkait sebagai pihak yang diuji dalam analisis harga transfer. Ada kemungkinan bahwa margin laba kotor wajar dan karenanya harga pengalihan, yang didasarkan pada analisis benchmarking, dapat menyebabkan hasil yang ekstrim bagi pemasok terkait dari perusahaan penjualan (misalnya pemasok mungkin mengalami kerugian meskipun distributornya menguntungkan).

 

Kondisi yang Tepat Untuk Metode Harga Penjualan Kembali 

 

Pada transaksi antar-perusahaan yang umumnya melibatkan perusahaan full-pledge manufacture (misalnya dibandingkan dengan perusahaan berisiko terbatas atau contract manufacturer) yang memiliki paten berharga atau properti tak berwujud lainnya dan perusahaan penjualan terafiliasi yang membeli dan menjual kembali produk ke Pelanggan yang merupakan pihak independen, Metode Harga Jual Kembali merupakan metode yang tepat untuk digunakan jika:

  1. Metode CUP tidak tepat;

  2. Perusahaan penjualan tidak memiliki properti tidak berwujud yang bernilai; dan

  3. Perbandingan yang andal dapat dilakukan pada Harga Pokok Penjualan.

 

Disini kami akan menggunakan contoh kasus 2 yaitu antara penjualan sepatu dari PT AUP Global Production Center kepada PT AUP Indonesia untuk melihat kondisi yang cocok untuk metode RPM.

 

Di sini diasumsikan bahwa Perusahaan AUP Global Production Center memiliki paten bernilai untuk memproduksi sepatu dan memiliki nama dagang yang bernilai. PT AUP Indonesia membeli sepatu dari AUP Global Production Center dan menjual kembali sepatu tersebut ke dealer yang tidak terkait di negara setempat. Dalam kasus seperti itu, Metode Harga Jual Kembali akan dipilih untuk menentukan harga transfer wajar antara AUP Global Production Center dan PT AUP Indonesia jika Metode CUP tidak dapat diterapkan. Metode Biaya Tambahan atau Cost Plus Method (akan dibahas dibawah) tidak akan dipilih dalam kasus ini, karena:

  1. Perusahaan Full Pledge Manufacture yaitu AUP Global Prodution Center memiliki aset tidak berwujud yang berharga, melakukan aktivitas penelitian dan pengembangan, dan umumnya memiliki operasi yang lebih kompleks daripada operasi perusahaan penjualan (yaitu PT AUP Indonesia);

  2. Hasil yang diperoleh dari penerapan Metode Cost Plus tidak akan seandal hasil yang diperoleh dari penerapan Metode Harga Jual Kembali dengan menggunakan perusahaan penjualan sebagai pihak yang diuji; dan

  3. Akan sangat sulit, bahkan tidak mungkin, untuk mengidentifikasi produsen yang sebanding dengan Perusahaan Asosiasi 1 (yaitu, yang memiliki properti tak berwujud yang sebanding) saat menerapkan Metode Biaya Plus.

 

Metode Harga Jual Kembali akan menetapkan harga transfer pricing dengan mengacu pada penjualan kembali atau margin kotor (laba kotor / penjualan bersih) yang diperoleh oleh reseller lain (dengan asumsi bahwa perbandingan internal tidak memungkinkan) dan membandingkannya dengan margin kotor yang diperoleh oleh PT AUP Indonesia pada sepatu yang dibeli dari AUP Global Production Center.

 

Metode Harga Jual Kembali juga dapat diterapkan dalam komisi agen penjualan dalam hubungan prinsipal dan agen penjualan. Dalam kasus ini, Metode Harga Jual Kembali akan menetapkan komisi wajar yang akan diperoleh oleh agen penjualan.

Rekomendasi Artikel.